Sulawesi Tengah, didiami berbagai macam suku bangsa, antara lain suku Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Banggai, Balantak, Buol, Toli-toli dan masih banyak yang lain. Di setiap etnis itu, masih ada lagi sub-etnis yang lain. Sebut saja misalnya etnis Kaili, ada ratusan sub-etnisnya seperti Kaili Ledo, Kaili Tara, Kaili Rai, Kaili Doi, Kaili Unde, Kaili Da'a dan banyak lagi yang lain.
Dengan demikian, setiap sub etnis itu memiliki bahasa sendiri-sendiri dan ada kemiripan satu sama lainnya. Pun halnya dengan adat istiadatnya, termasuk upacara-upacara adat yang cukup beragam dan sangat banyak.Proses untuk membuka ladang baru hingga panen saja, suku-suku ini memiliki upacara adat sendiri yang disebut upacara Adan Tane. Upacara ini berisikan perbuatan suci dan kepercayaan leluhur atau nenek moyang kepada yang dianggap pengusaha tanah, yaitu To Manuru, yang memberikan kesuburan, kebersihan atau kegagalan.
Tidak hanya itu, Hapri Ika Poigi juga menambahkan, saat padi yang ditanam itu sudah mulai berisi, mereka pun mengadakan upacaranya yang disebut No Unju Bosu, upacara mengadakan sesajian yang disebut Nomparaya, upacara Modindi, Upacara No Ktot memetik padi, upacara Nopinji yaitu memberi sesajian, upacara Nanjalo yaitu pesta selamatan panen dan upacara Nowunja pesta panen secara massal yang mengambil lokasi di sekitar baruga atau rumah adat masyarakat Kaili.
Belum lagi soal siklus kehidupan manusia. Bagi masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan, selalu ada upacaranya. Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran bayi, yakni upacara masa hamil, kemudian adat dan upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian banyak upacara tersebut, maka upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dilakukan sangat unik.
Dalam catatan sejarah upacara adat masyarakat Sulawesi Tegah, ketika seorang anak meningkat dewasa, yakni sekitar umur 12 tahun ke atas, diadakan upacara Nakeso dan Naloso. Upacara ini merupakan yang sangat besar dan dibesarkan karena saat ini putra putri telah mengakhiri masa kanak-kanaknya, sehingga kepadanya diharuskan mengikuti upacara ini, dan mereka diberi nama Toniasa. Artinya, Tona nipaka asa atau orang dibuat tenang atau didewasakan.
Selama satu bulan sebelum upacara ini, Toniasa ini dikurung dalam suatu tempat tertutup dan tidak boleh keluar serta menginjak tanah. Dalam kurungan ini mereka harus melaksanakan peraturan dan disiplin yang diajarkan menurut adat, sedangkan untuk keperluan mereka seperti makan, minum dan lainnya, harus didahului dengan memukul tambur atau membunyikan seruling dari bambu.
Pagi harinya, toniasa digendong ke sungai untuk dimandikan dan selanjutnya diberi pakaian adat seperti halnya orang dewasa. Selanjutnya dilakukan upacara Nakeso, yakni menggosok gigi atau pemotongan gigi dengan menggunakan bebatuan khusus dan disaksikan banyak orang. "Biasanya, nakeso itu dilakukan di bantaya atau Baruga (balai pertemuan adat) yang dilakukan oleh kepala adat," katanya.
Selanjudnya toniasa diturunkan dan diarak mengelilingi balai adat atau bantaya yang sudah dihiasi daun kelapa dan bambu kuning. Upacara ini diebut Naloso. Terakhir kepala Toniasa yang tertua diharuskan menombak kerbau yang diikuti oleh mereka yang menjalani upacara ini sampai kerbau tersebut mati. Kemudian kepala kerbau diambil dan diletakkan di depan balai adat, dan Toniasa duduk di atas kepala kerbau didampingi Toniasa yang lain, putra maupun putri.
"Saat itulah, putra-putra itu pun dilantik dan dinyatakan sudah menjadi orang dewasa. Apabila mereka melanggar adat, maka kepalanya sebagai pengganti kepala kerbau ini," ujarnya.Semua tradisi masyarakat Sulawesi Tengah, masih tetap dipertahankan hingga kini. Bahlan, untuk mempopulerkannya kepada publik, semua jenis upacara ini selalu diadakan di berbagai media, tidak hanya di kampung-kampung, tapi sudah ke panggung-panggung hiburan dan festival.
Arifin Sunusi, pengurus Dewan Kesenian Palu mengatakan, dahulu yang digunakan untuk mengurung putra-putri tersebut adalah bangunan bertangga bambu yang disebut Songi, dan ditutup dengan mbesa sejenis kain kulit kayu yang khusus dipakai untuk upacara adat. Puncak upacara adalah setelah Toniasa mengakhiri latihan Songi, pada malam hari kuku-kuku tangan dan kaki diberi pacar, sementara selama pemberian pacar berlangsung diperdengarkan lagu Rano yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan oleh orang-orang tua dengan iringan bunyi-bunyian.
Selamat Membaca .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar